jump to navigation

Di SLB Minim Perhatian, Di Inklusi Tersisihkan 03/12/2010

Posted by slbypbbkarimun in Inclusive Education.
trackback

Awal bulan ini, bertempat di ruang Sri Aji Joyoboyo kantor Pemerintah Kota Kediri, diselenggarakan satu forum pertemuan kepala sekolah se Kota Kediri. Untuk kelas sosialisasi, kegiatan sama seperti forum kasek lainnya. Bedanya, tema inklusi yang diangkat dalam kegiatan tersebut, seakan menjadi pengingat tentang nasib pendidikan inklusi di Kota Kediri. Tidak tanggung-tangung juga, Praptono, M.Ed, dari Pokja Nasional Pendidikan Inklusi Republik Indonesia, menjadi pembicara dalam forum tersebut.
“Penyelenggara pendidikan inklusi untuk jenjang SD hanya 0,38 persen, dan untuk SMP haya 0,25 persen dari keseluruhan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Bisa dibayangkan bagaimana kesempatan belajar yang disediakan untuk peserta didik inklusi,” kata Praptono.
Meskipun dalam sambutan singkatnya Walikota Kediri, Samsul Ashar sempat mengutarakan bahwa perlu ada ruang pengembangan pendidikan inklusi di Kediri, fakta yang ada dalam kehidupan pendidikan di Kota Kediri berkata lain. Jangankan untuk ruang pengembangan, tahap pemahaman mengenai jenis pendidikan ini saja belum sepenuhnya ada.
Kabid Dikdasmen Dindik Kota Kediri, Umi Laila, M.Pd menyebutkan, secara resmi belum ada sekolah di Kediri yang menyelenggarakan pendidikan inklusi. Inklusi dalam pengertian sekolah reguler yang menerima siswa dengan kategori ‘khusus’, sebagaimana definisi dalam UU Sisdiknas pasal 32. Namun demikian, kediri memiliki beberapa sekolah luar biasa.
“Untuk kecacatan yang pasti dan nampak, siswa masuk sekolah luar biasa. Kebutuhan khusus terkait kondisi sosial, akan segera dirumuskan bentuk teknis penyelenggaraan pendidikannya,” terang Umi.
Dalam waktu bersamaan, lanjut Umi, Dindik Kota Kediri juga menerima pengajuan sebuah LSM untuk menyelengarakan pendidikan inklusi. Kegamangan muncul sebab penawaran ini masuk dalam ranah ‘abu-abu’ pengertian inklusi. Dalam penawaran tersebut, peserta yang bakal dididik adalah anak-anak pekerja seks komersil dan yang berada dalam lingkungan salah satu lokalisasi di Kediri.
“Sementara peserta didik tersebut tidak masuk kategori cacat, berstatus siswa dalam sekolah  dasar negeri, dan mampu mengikuti KBM secara normal. Jadi memang perlu rumusan yang baik mengenai teknis pelaksanaan inklusi di Kediri,” lanjut Umi.
Dipihak sekolah umum, persoalan pemahaman juga terkait dengan program rutin sekolah. Ada kesan enggan untuk meningkatkan partisipasi dalam pendidikan inklusi, sebab sekolah reguler juga terikat ‘target’ kurikulum.
Dra Ratna Eko Fauziah, dari SLB Putera Asih Kediri menyebutkan, perlu ada ketegasan dari kepala daerah dan kepala dinas pendidikan mengenai pendidikan inklusi. Pendidik SLB C1 Kediri juga menyatakan bahwa Kediri memiliki pekerjaan rumah sangat komplek terkait pendidikan inklusi. Tolok ukurnya mudah, sebelum membahas inklusi, nasib SLB yang ada dan peserta didiknya dinilai jauh dari perhatian.
“Jika dibandingkan dengan kota lain yang mengejar peningkatan mutu pendidikan, Kediri adalah satu yang tidak memiliki SLB negeri,” kata Ratna.
Langsung atau tidak, hal terebut berpengaruh dalam hal pengembangan pola pikir pelaku pendidikan. Dengan lembaga berstatus negeri, masyarakat juga lebih mengakui keberadaannya. Dus, bagi peserta didik, secara mental akan mepengaruhi motivasi belajar dan aktualisasinya. Baru kemudian akan terbentuk pula arah pemikiran untuk mengakulturasikan pendidikan luar biasa dan pendidikan umum dalam konteks pendidikan layanan khusus yang lebih modern.
“Faktanya sekarang, ada yang menginginkan siswa yang tidak cacat fisik, tidak cacat kebutuhan dan kemampuan pendidikan, hanya karena dari lingkungan yang ‘cacat’, dikategorikan inklusi. Menurut saya jadi kabur antara konsep inklusi, rumah singgah, dan pembekalan ketrampilan,” imbuh Ratna.
Ratna melanjutkan, jika mau konsisten mengembangkan konsep inklusi, sebenarnya telah ada beberapa TK hingga SMA yang memiliki siswa autis sampai cacat daksa ringan. Hanya saja, jarang ada perhatian, atau juga pengakuan, bahwa mereka seharusnya telah layak mendapat perhatian sebagai sekolah penyelengara pendidikan inklusi. Siswa SLB Putera Asih, juga ada diantaranya yang sebenarnya layak mengikuti pendidikan disekolah umum. Atau setidaknya dicobakan.
Percobaan seperti ini juga disebutkan pernah dilakukan SLB Putera asih. Dengan cara menitipkan siswanya pada salah satu SMKN di Kota Kediri. Hasilnya juga tidak buruk, siswa tersebut mampu mengimbangi transfer pengetahuan dan ketrampilan dari SMK negeri, layaknya siswa lain disekolah tersebut.
“Sebenarnya, dari segi konsep dan teknis pelaksanaan pendidikan inklusi, Kediri bukannya nol. Namun dari sekian prioritas pembangunan, nasib pendidikan inklusi dan peserta didik pada akhirnya, ya kembali lagi pada ketegasan pengambil kebijakan di Kediri,” pungkas Ratna.

Komentar»

No comments yet — be the first.

Tinggalkan komentar